YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Indonesia keliru jika memilih nuklir sebagai sumber energi, kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Suparlan.
"Berpaling ke nuklir jelas bukan jawaban bagi persoalan energi Indonesia. Sebaliknya, justru merupakan ancaman baru dalam membangun kedaulatan energi," katanya pada seminar pemanfaatan energi nuklir di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (20/6).
Ia mengatakan, Indonesia akan semakin mengalami ketergantungan dengan lingkar kapitalisme global di mana teknologi, sumber pembiayaan, dan bahan baku energi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing.
"Pada saat yang sama, sumber energi Indonesia terus terkuras tanpa bisa memanfaatkan untuk kemakmuran rakyat," katanya.
Menurut dia, penggunaan energi nuklir di Indonesia hanya menggantikan dua persen penggunaan energi lainnya. "Tentu saja hal itu tidak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan untuk membangun sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Bahkan, Indonesia akan jatuh ke dalam perangkap nuklir," katanya.
Ia mengatakan, nuklir bukan merupakan energi terbarukan, dan cadangan uranium di alam akan menyusut, sama halnya dengan energi fosil. Dengan kapasitas penggunaan energi nuklir saat ini, diperkirakan uranium akan habis dalam kurun waktu 34 tahun.
"Meskipun memiliki uranium, Indonesia diperkirakan harus mengimpornya dari negara penghasil, seperti Australia, Kanada, Kazakhstan, Namibia, Nigeria, Rusia, Brasil, dan Uzbekistan," katanya.
Menurut dia, nuklir juga bukan sumber daya energi yang murah. Teknologi reaktor dan persediaan uranium yang tidak banyak dan uranium yang dekat dengan permukaan akan cepat menyusut seiring dengan peningkatan jumlah listrik tenaga nuklir sehingga semakin membutuhkan biaya tinggi.
"Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor nuklir terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi dari Pemerintah Jerman menunjukkan dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita meningkat 54 persen dan 74 persen," katanya.
Ia mengatakan, dampak itu belum memperhitungkan jika terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.
"Beberapa fakta kasus kecelakaan nuklir akibat kebocoran reaktor antara lain Three Mile Island, AS pada 1979, Chernobyl, Ukraina (1986), Tokai Mura, Jepang (1999), Inggris (2000), dan Swedia (2006)," katanya.
Minggu, 12 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar