Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. kadang dari dekat, kadang dari kejauhan. Bukan untuk menggumi keindahannya karena rumahku kecil saja, berantakan pula. Namun, semua tentang rumahku, aku menyukainya.
Memandang rumahku, aku jadi memandang diriku sendiri juga kekayaanku. Sebagai diriku, ia menggambarkan betul watakku, kebaikanku juga keburukanku.rumah itu serba gelap, tak pernah dicat, tak pernah dirampungkan sebagaimana layaknya sebuah rumah.
Ada tembok yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca, ada sudut tidak simetris, ada tanam-tanaman yang cukup siraman,tetapi tak cukup perawatan. Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tetapi hasil spekulasi. Spekulasi dari relasi hidup yang cuma bisa kujalankan dengan cara merambat. Setindak demi setindak. Dan, rumahku adalah kumpulan dari tindak demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan makanya di banyak sudut seperti Cuma berisi kesalahan.
Begitulah hidupku, lengkap dengan kesalahan yang kuperbuat adalah kenyataan yang menggembirakan hatiku. Hidup, lengkap dengan kesalahan, sungguh merupakah kesempurnaan. Maka memandangi kesalahan itu setiap kali sungguh sebuah kegembiraan.
Padahal, di rumahku tidak Cuma ada kesalahan-kesalahan hidupku, tetapi juga ada anak-istriku. Di dalam rumah itulah aku dan keluargaku tumbuh, menyejarah dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan berkah-berkahNya. Memandang anak-anak tertidur, sering melelehkan air mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku saat terharu seperti itu. Namun, begitu anak-anak itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, lalu terlihatlah kualitas kelakuanku. Aku ternyata tak lebih dari bapak-bapak kebanyakan yang gampang didikte oleh kemarahan, terutama jika kenyamanan dirinya terganggu.
Aku jelas bukan orang kaya, akan tetapi, semua simbol orang kaya telah kulengkapi hampir seluruhnya. Butuh apa saja di rumahku ada dan tersedia, sepanjang kebutuhan itu cuma seperti kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi kesukaanku ada: pisang goreng, kacang rebus hingga juadah bakar. Istriku telah pintar membuatnya.
Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah mengalir tanpa henti jajanan kelilingan. Ada yang generik model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada pula yang baru dan aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena keanehannya. Malah ada pula jajanan kuno yang sesekali masih bisa ditemui seperti arum manis dan gulali.
Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk manusia, melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan jenis louhan dan arwana, tetapi cukup jenis sepat dan mujahir, dan wader saja, yang tak perlu dirawat pun tahan hidup lama. Mau mendengar semua jenis kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah jenis tekukur, kutilang, dan puter. Aku juga memelihara banyak burung gereja di sela-sela atap rumahku.
Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala seharian-semalaman. Mau nonton konser apa saja, film apa saja, talkshow apa saja...semua ada. Mau sekadar mendengar musik dan karaoke? Malah cukup mendengarkan VCD tetangga yang bisa menyetel karaokenya sampai terdengar ke lain desa.
Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata kaya sekali aku ini. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan cuma seperti kebutuhanku dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi orang kaya bersama-sama.
Prie GS
Rabu, 19 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar