Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 November 2009

Katakan Cinta dengan Aniaya

0 komentar

Salah satu hobi yang saya sendiri sering mengeluhkan adalah kebiasaan untuk suka dipijat. Begitu hebatnya hobi ini hingga istri dan anak-anak pun lebih suka menyingkir jika saya sudah kedapatan merebahkan badan. Pendek kata tidak ada hari tanpa pijat. Bagi mereka, mendekat di saat seperti ini hanya berarti kerja paksa. Malah secara terbuka istri pernah mengeluh, bahwa ia merindukan kedekatan tanpa ada gangguan pemijatan. ''Menjadi pemijat kan dulu tidak termasuk dalam kontrak perkawinan,'' sungutnya.


Saya tahu kekesalannya. Tapi jika tubuh ini sudah diserang pegal di sekujur, yang saya pedulikan cuma satu: mengusir pegal ini secepatnya. Walau sebetulnya, pijat bukan sekadar pengusir pegal. Yang terpenting adalah bahwa di dalam pijat ini ada kontak lahir batin. Capek fisik mendapat obatnya, kemanjaan batin mendapat penyalurannnya. Efek rangkap inilah kenapa yang membuat pijat lebih adiktif, lebih bikin nyandu dibanding narkoba.

Tapi saya memilih menyerah dalam perangkap bahaya ini. Karena saya yakin, saya tidak sendiri. Seorang santri, yang kini sudah menjadi kiai hebat, pernah bercerita bahwa pijat bisa menjadi alat paedagogi, sarana mengajar yang dahsyat. Karena pijatlah ia merasa bisa menjadi seperti sekarang. Oleh gurunya, ia sering mendapat tugas memijat hingga sang guru tertidur. Sebagaimana santri yang patuh, ia belum berhenti jika sang guru belum benar-benar tertidur.

Semula ia cuma menduga ini cuma tugas struktural biasa, antara bos dan stafnya. Tapi lama-lama ia menangkap niat terpendam gurunya. Bahwa untuk guru sehebat itu, pemijat paling hebat pun akan datang dengan suka cita. Jika sang guru mimilihnya, pasti bukan karena kualitas pijatannya. Di akhir cerita, si santri ini sepenuhnya yakin, lewat pijat itulah sang guru tak cuma sedang menyalurkan ilmunya tapi juga menyalurkan hasrat sayangnya pada sesama.

Cerita ini sungguh membuat saya makin percaya diri untuk memperalat anak istri saya. Si TK dan Si SD telah biasa menginjak-injak punggung bapaknya meskipun dengan segenap omelan dan protes di sana-sini. Ada kalanya, protes itu malah sudah demikian penuh kemarahan, mereka bahkan bukan menginjak-nginjak lagi, melainkan sudah melompat-lompat di sekujur badan untuk tujuan menyakiti bapaknya. Di mata anak-anak, saya ini pasti hanya tukang perintah kerja paksa, tukang rampok waktu bermainnya.

Tapi mereka tak pernah tahu, betapa saat melihat mereka ngomel itulah saya bisa tertawa sambil membenamkan suara di bantal sekuat-kuatnya. Inilah momen terlucu anak-anak saya. Lebih-lebih si TK yang bakat menipunya sudah mulai muncul itu. Sangat tidak mudah membujuk dia untuk segera melompat ke punggung bapaknya. Ia akan terus berusaha menunda kesanggupannya dengan berbagai cara. Ada karena roda mobil mainannya yang lepas dan butuh diperbaiki. Ada robot-robotan yang patah tangan dan harus disambung. Jika semua sudah terpasang, ia masih meminta waktu lagi untuk memasukkan barang-barang ke kotak mainan. Padahal kotak mainan itupun bukan barang yang mudah ditemukan karena hanya dicari ketika waktu menginjak punggung tiba.

Jadi ada saja akalnya untuk mengulur waktu. Giliran ia sudah tak punya alasan lagi dan harus segera bekerja, ia bisa minta berhenti ketika baru menginjakkan sebelah kakinya di badan ini. ''Nih sudah!'' katanya sambil ngeloyor pergi. Maka menariknya kembali, menindihnya sampai ia meraung-raung dalam pengertian sebenarnya adalah kriminalitas yang menyegarkan.

Begitu juga dengan istri. Menikmati pijatan dan omelannya sambil terpejam sungguh menggembirakan hati. Omelan itu malah seperti hiburan saja. Oo, inilah wanita yang sudah lelah mengurus anak-anak itu, yang mengawasi setiap jengkal rumah, cucian, seterikaan, mengatur uang belanja, bayar listrik, telpon, mengangsur kredit, mengarsip dokumen keluarga, memasak... masih harus memijat suami pula.

Untuk mengucapkan rasa terimakasih secara terbuka, saya tak biasa. Untuk terharu secara terang-terangan gengsi saya tak mengizinkan. Untuk merayunya seperti adegan sinetron sebagai tanda cinta, saya sudah trauma. Karena pernah saya meniru adegan rayuan seperti di televesi itu, istri saya malah geli tanpa henti. Sudah tentu saya tersinggung. Sejak saat itu saya berjanji tidak akan merayunya lagi.

Sulit bagi saya untuk mengatakan cinta pada mereka secara terbuka. Jadi, jalan satu-satunya yang saya bisa ialah dengan cara memperalat mereka.

(PrieGS/)

Rabu, 19 Agustus 2009

Merenung Sampai Mati

0 komentar
Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. kadang dari dekat, kadang dari kejauhan. Bukan untuk menggumi keindahannya karena rumahku kecil saja, berantakan pula. Namun, semua tentang rumahku, aku menyukainya.

Memandang rumahku, aku jadi memandang diriku sendiri juga kekayaanku. Sebagai diriku, ia menggambarkan betul watakku, kebaikanku juga keburukanku.rumah itu serba gelap, tak pernah dicat, tak pernah dirampungkan sebagaimana layaknya sebuah rumah.

Ada tembok yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca, ada sudut tidak simetris, ada tanam-tanaman yang cukup siraman,tetapi tak cukup perawatan. Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tetapi hasil spekulasi. Spekulasi dari relasi hidup yang cuma bisa kujalankan dengan cara merambat. Setindak demi setindak. Dan, rumahku adalah kumpulan dari tindak demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan makanya di banyak sudut seperti Cuma berisi kesalahan.

Begitulah hidupku, lengkap dengan kesalahan yang kuperbuat adalah kenyataan yang menggembirakan hatiku. Hidup, lengkap dengan kesalahan, sungguh merupakah kesempurnaan. Maka memandangi kesalahan itu setiap kali sungguh sebuah kegembiraan.

Padahal, di rumahku tidak Cuma ada kesalahan-kesalahan hidupku, tetapi juga ada anak-istriku. Di dalam rumah itulah aku dan keluargaku tumbuh, menyejarah dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan berkah-berkahNya. Memandang anak-anak tertidur, sering melelehkan air mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku saat terharu seperti itu. Namun, begitu anak-anak itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, lalu terlihatlah kualitas kelakuanku. Aku ternyata tak lebih dari bapak-bapak kebanyakan yang gampang didikte oleh kemarahan, terutama jika kenyamanan dirinya terganggu.

Aku jelas bukan orang kaya, akan tetapi, semua simbol orang kaya telah kulengkapi hampir seluruhnya. Butuh apa saja di rumahku ada dan tersedia, sepanjang kebutuhan itu cuma seperti kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi kesukaanku ada: pisang goreng, kacang rebus hingga juadah bakar. Istriku telah pintar membuatnya.

Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah mengalir tanpa henti jajanan kelilingan. Ada yang generik model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada pula yang baru dan aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena keanehannya. Malah ada pula jajanan kuno yang sesekali masih bisa ditemui seperti arum manis dan gulali.

Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk manusia, melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan jenis louhan dan arwana, tetapi cukup jenis sepat dan mujahir, dan wader saja, yang tak perlu dirawat pun tahan hidup lama. Mau mendengar semua jenis kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah jenis tekukur, kutilang, dan puter. Aku juga memelihara banyak burung gereja di sela-sela atap rumahku.

Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala seharian-semalaman. Mau nonton konser apa saja, film apa saja, talkshow apa saja...semua ada. Mau sekadar mendengar musik dan karaoke? Malah cukup mendengarkan VCD tetangga yang bisa menyetel karaokenya sampai terdengar ke lain desa.

Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata kaya sekali aku ini. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan cuma seperti kebutuhanku dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi orang kaya bersama-sama.

Prie GS

Selasa, 11 Agustus 2009

Jangan Memberi Uang Kepada Anak Jalanan

0 komentar
''Jangan memberi uang pada anak jalanan, tidak mendidik. Salurkan saja bantuan Anda ke...,'' kata sebuah spanduk. Jika Anda masuk ke kawasan Tugu Muda, Semarang, dan jika spanduk itu belum dicopot, Anda akan menjumpainya.

Bunyi spanduk itu merupakan bagian dari cara pandang banyak pihak terhadap anak jalanan. Tanpa sadar cara semacam itu pula yang bercokol di benak banyak orang. Seorang kawan mengaku tegas-tegas menolak memberi mereka uang, meski uang receh menumpuk di ceruk-ceruk mobilnya. ''Ini bukan masalah duit. Ini soal prinsip. Memberi kail lebih saya sukai katimbang memberi umpan,'' kata si kawan. Jadi, terbukti, bahwa cara berpikir Pemerintah Kota memang tak sendiri.

Apakah cara pandang semacam itu salah? Tidak. Yang salah ialah jika ada yang menganggap bahwa cuma itulah satu-satunya cara memandang persoalan anak jalanan. Karena terbukti, saya sendiri menempuh cara yang berbeda dari Pemerintah Kota. Saya tidak yakin sikap saya ini benar. Tapi izinkan saya menjelaskan alasannya.

Saya mulai saja dari ikrar ini: kepada anak jalanan saya akan selalu memberi mereka uang sepanjang recehan itu masih tersedia. Sebuah niat mulia? Tidak. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Pertama, saya memberi karena saya takut. Takut kendaraan dicoret, takut dimaki, takut dijahati. Tak semua anak jalanan adalah anak kecil dan tak berdaya. Beberapa di antaranya malah bertato dan bertampang galak. Mereka juga selalu berkoloni, bergerombol. Dibanding orang seperti saya, mereka juga pasti lebih siap berkelahi dan sejenisnya. Jadi pemberian karena sebuah ketakutan, pasti bukan kedermawanan.

Kedua, ada kalanya muncul juga rasa iba. Betapapun, saya bisa mengerti beratnya hidup yang mereka tanggung. Minus remaja-remaja yang bertato dan bertampang galak, banyak di antara mereka adalah anak-anak kecil, ibu-ibu hamil, dan wanita-wanita dengan bayi-bayi mereka. Melihat keadan mereka, melihat bagaimana kemiskinan sehebat itu harus menghadapi tekanan kota yang konsumtif dan keras, saya benar-benar tak sempat lagi berdebat soal apakah harus memberi ikan atau kail. Lagipula yang ada ini, yang biasa saya berikan ini, malah bukan ikan bukan kail, tapi sekadar duit receh. ''Jadi ayolah, kenapa harus berfilsafat untuk barang seremeh ini,'' nasihat saya pada diri sendiri. Ini pun bukan kemuliaan. Terharu adalah soal biasa saja. Para pencoleng dan koruptor juga manusia yang bisa terharu.

Ketiga, adalah alasan paling prinsipil yang akhirnya makin meneguhkan ikrar saya. Alasan itu adalah betapa anak-anak jalanan ini hanya produk situasi. Di negara makmur, orang bahkan sudah merasa tertekan ketika berstatus sebagai penganggur, jobless. Antre berdiri mengambil uang santunan pemerintah tak lebih dari antrean aib bagi mereka.

Sementara di sekitar kita makin banyak belaka pihak yang menekuni dunia pengemis. Belum lama ini dua anak, bukan pengemis, mendatangi rumah saya dan meminta-minta. ''Untuk bayar sekolah,'' katanya. Wah ini hebat, bahkan mengemis telah menjadi pilihan pertama dalam dunia kerja. Persis kenyataan di Indonesia. Betapa mental mengemis sebenarnya telah berurat-berakar dengan hebat. Dan itulah kenapa korupsi merajalela. Karena korupsi terjadi jika banyak orang berkelakuan semacam ini: miskin prestasi tapi rakus jabatan, menolak kerja keras tapi ingin bekelimpahan.

Jadi anak-anak jalanan itu bisa saja hanya mewarisi kebudayaan sebelumnya belaka. Jika pihak yang diwarisi itu mati, anak-anak jalanan itu mungkin akan bersih dengan sendirinya.

(PrieGS/)

Senin, 10 Agustus 2009

Refleksi Bersama Prie GS

0 komentar
Kini akan hadir rubrik baru, yaitu "Refleksi Bersama Prie GS". Dalam rubrik ini, Anda akan mendapatkan berbagai kolom-kolom karya Prie GS, seorang motivator sekaligus budayawan mbeling. Tulisannya sangat sangat ringan untuk dibaca, tetapi sarat dengan makna yang terkandung, bahkan kita akan tercengang dengan apa yang akan kita baca karena saking detailnya permasalahan yang dibahas, hingga masalah sepele sekalipun yang terkadang tidak kita pikirkan sebelumnya.

Semua sumber tulisan ini bersumber dari berbagai situs di Internet. Selamat membaca.