(Fox News, 2/1)
Salah satu elemen yang banyak diperbincangkan selama berlangsungnya serangan Israel di Jalur Gaza adalah roket Hamas. Roket-roket itu, menurut Israel, ditembakkan ke sejumlah kota di wilayahnya. Berbeda dengan Israel yang bisa mengerahkan persenjataan udara, laut, dan darat yang berteknologi tinggi, roket—bersama mortir—itulah yang jadi tulang punggung persenjataan Hamas.
Selama tahun 2008, pihak Hamas, seperti dicatat Israel, telah menembakkan 1.750 roket (dan 1.528 peluru mortir), 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2006 serta 5 kali lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (GlobalSecurity.org)
Dengan roket itu pula Hamas bisa memberi ancaman lebih terhadap kota-kota Israel. Sebelum 2008, hanya kota Sderot (berpenduduk 20.000 jiwa) dan wilayah di sekitar Jalur Gaza yang bisa menjadi sasaran roket. Namun, pada 2008 pihak Hamas bisa menarget kota Ashkelon dan Netivot. Malah sejak Israel melancarkan agresi yang diberi nama Sandi Operation Cast Lead, Hamas bisa meluncurkan roket ke kota yang lebih jauh, seperti Ashdod dan Beersheba.
Membaca ”kemajuan” di atas, bisa jadi yang muncul adalah keperkasaan militer. Namun, dibandingkan dengan militer Israel yang disokong penuh Amerika Serikat, tentu roket Hamas belum setara. Namun, dalam banyak foto, kita sering melihat pejuang Hamas mengusung roketnya. Sebagian memang panjangnya hanya 80 cm sehingga cukup ditenteng.
Akan tetapi, kalau Israel begitu merisaukannya, pastilah ada alasan kuat. Sebagian tentu pertimbangan keamanan penduduk, tetapi yang tidak kalah dirisaukannya, dengan jangkauan yang terus bertambah, roket-roket itu juga mengancam arsenal nuklirnya.
Kalangan di Israel takut kalau roket Hamas dibiarkan, hanya tinggal soal waktu sebelum instalasi nuklir di Dimona, yang terletak 32 kilometer di sebelah timur Beersheba, jatuh dalam sasaran roket Hamas (Fox News, 2/1).
Kita tahu, Dimona adalah satu-satunya reaktor nuklir Israel dan banyak diyakini, di sanalah Israel menyimpan sekitar 200 hulu ledak nuklirnya.
Terus ditingkatkan
Berada dalam posisi serba terbatas, Hamas—dan juga Hezbollah—telah memilih roket sebagai andalan. Roket menjadi simbol perlawanan dalam konflik asimetri. Dengan memanfaatkannya secara cerdik, roket—seperti diperlihatkan dalam perlawanan pejuang Hezbollah pertengahan tahun 2006—bisa merepotkan Israel.
Kemarin, juru bicara Hamas di Dewan Legislatif Palestina, Musheir al-Masri, menyatakan, roket-roket yang sudah diluncurkan baru merupakan pesan pertama. Kalau konflik meningkat, serangan roket akan ditingkatkan dan Israel akan ”dihantam dengan cara yang belum pernah terjadi sebelum ini”.
Dari mana Hamas mendapatkan roketnya? Sebelum ini, Iran banyak disebut sebagai pemasok roket Hamas. Kini, roket Hamas juga disebut buatan China.
Jangkauan roket Hamas yang paling jauh sekitar 40 km. Banyak yang mengatakan, itu roket Grad. Ini nama Rusia atau ”Katyusha yang ditingkatkan”. Namun, Israel meyakini, roket yang ditembakkan ke Ashdod harus punya jangkauan dua kali lebih jauh daripada BM-21 Grad. Foto yang dibuat dari roket yang jatuh di dekat Ashdod memperlihatkan bahwa itu roket 122-mm, berarti juga bukan roket buatan Iran, apakah itu Oghab yang berjangkauan 34-45 km atau Fajr-3/Ra’ad dengan jangkauan 45 km.
Dugaan pun lalu mengarah pada roket buatan China yang bernama WeiShi (yang secara harfiah berarti ”Pengawal”). Keluarga roket WS yang berjenis sistem roket peluncur banyak (multiple launch rocket system) ini dikembangkan oleh Sichuan Aerospace Industry Corporation di Chengdu, Provinsi Sichuan. Seri roket WeiShi ini termasuk WS-1E 122-mm dengan jangkauan 40 km. Adapun roket Grad, Israel mengetahuinya dari roket yang ditembakkan ke Ashkelon.
Roket Qassam
Dari jenis-jenis roket Hamas, yang paling banyak selain Grad dan WeiShi adalah roket Qassam yang jangkauannya lebih pendek. Roket ini mulai diproduksi September 2001, menyusul pecahnya intifada Al Aqsha.
Roket yang namanya diambil dari pejuang asal Suriah yang melawan kuasa kolonial Eropa di Timur Tengah pada 1920-an dan 1930-an ini berbentuk silindris, dengan selongsong besi. Roket ini tidak dilengkapi sistem pengarah dan tidak akurat, tetapi ketika mulai dipergunakan untuk menyerang wilayah Israel, Maret 2002, ia menciptakan efek psikologis besar. Ini karena sebelum hadirnya Qassam, pejuang Palestina tidak punya alat untuk melakukan serangan jarak jauh.
Karena ukurannya yang kecil sehingga mudah dibawa dan peluncurannya simpel, Israel kesulitan menghentikan produksinya.
Kini dilaporkan sudah ada Qassam-4 yang punya jangkauan 17 km.
Menanggapi serangan roket Qassam, Israel telah sering melancarkan serangan ke pabrik pembuatan dan situs-situs peluncuran di Jalur Gaza, juga memasang sistem radar pemberi peringatan dini untuk memberi tahu warganya agar bersembunyi di tempat perlindungan bom.
Simbol kekuatan
Sebagai bangsa yang masih hidup dalam kesempitan, Palestina tidaklah mampu mengembangkan kekuatan perang sebagaimana Israel dengan Israel Defence Force yang punya sekitar 500 pesawat tempur, 200 heli tempur, dan 3.000 tank. Israel bahkan sudah punya rudal balistik jarak sedang Jericho. Namun, roket-roket yang tergolong sederhana itu memberi kekuatan pejuang Palestina.
Wujud perang asimetri, seperti halnya David yang melawan Goliath, masih menonjol, tetapi tampak bahwa roket telah memberi warna lain dalam perlawanan Palestina. Negara-negara yang menghadapi ketimpangan besar dengan lawan potensialnya pun bisa melihat roket sebagai jalan keluar meski kini upaya pengembangan roket telah dikekang oleh Missile Technology Control Regime yang didirikan Barat tahun 1987.
Hamas dengan roket-roket yang belum akurat, tetapi berjangkauan makin jauh telah membuat Israel cemas dan kini Israel mengerahkan kekuatannya untuk membungkam roket-roket itu sebelum jangkauan mereka semakin mengancam Dimona atau kota-kota besar Israel lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar