Sabtu, 03 Oktober 2009

Di Balik Gempa Bumi Padang

0 komentar
KOMPAS.com — Di sana piring dan gelas, di situ nasi dan lauk. Silakan ambil sendiri,” ucap Tuminah (29) ramah kepada sekelompok orang yang masuk tenda putih alias dapur umum di rumah dinas Gubernur Sumatera Barat.

Sepanjang Jumat (2/10), rumah dinas Gubernur dipenuhi banyak orang. Di tengah minimnya rumah makan yang buka, dapur umum menjadi penyelamat bagi sebagian orang.

Sehari sebelumnya, Kamis (1/10), perkara makan bahkan lebih parah. Para pendatang yang hendak makan malam harus berputar-putar di seantero Kota Padang mencari warung yang buka. Sekelompok wartawan dari Jakarta, misalnya, setelah menyelesaikan pekerjaan mereka mengirimkan berita, pada Kamis menjelang tengah malam berputar-putar ke seluruh penjuru kota untuk mencari warung makan. Setelah dua jam, tidak tampak juga warung yang buka.

Mereka akhirnya menyerah dan bersedia diajak makan di rumah sopir mobil sewaan yang membawa mereka berkeliling sejak siang. Hari Jumat, kondisi serupa masih terjadi. Restoran yang buka di Padang dapat dihitung dengan jari. Satu restoran lumayan besar di Jalan Khatib Sulaiman, misalnya, dipadati pengunjung yang rela antre lama untuk mendapatkan makanan.

Di depan Pasar Ramayana, satu-satunya rumah makan yang buka adalah warung Mie Aceh yang menyediakan mi goreng khas Aceh dan martabak telur. Di depan Kampus Universitas Andalas di kawasan Air Manis, warung pecel lele Jawa Timur juga dipenuhi pengunjung. Pada Jumat siang, lele yang disediakan warung itu ludes.

Azis Chaniago, seorang pemilik rumah makan di Padang, belum membuka warung karena masih berkabung. Dua anggota keluarganya meninggal dunia akibat gempa. Azis baru akan membuka warungnya Senin (5/10) mendatang.

Dapur umum

Minimnya warung makan/restoran yang buka membuat banyak orang menyerbu dapur umum. Menu dapur umum, yakni nasi, mi rebus, dan ikan kaleng adalah penyelamat. Ketiga jenis makanan itu, ditambah air hangat, dikerjakan oleh Tuminah bersama sejumlah rekan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Sumatera Barat.

”Sejak dapur umum berdiri pukul 15.00, hingga malam kami memasak tidak ada hentinya. Selesai masak nasi, masak mi rebus, lalu ikan, dan air. Pokoknya kerja terus,” ucap Tuminah.

Selain Tuminah yang kebagian tugas memasak, ada pula sederet anggota Tagana. Piring-piring kotor segera dicuci agar kembali bersih dan dapat digunakan.

Kerja di dapur umum bukanlah pekerjaan pertama Tuminah pascagempa. Pada Rabu (30/9) malam, rumah kontrakannya yang rusak tidak membuat Tuminah berdiam diri. Dia keluar dan segera bergabung dengan kawan-kawannya untuk menolong korban luka.

Setelah tidur hanya dua jam, pada Kamis pagi buta, Tuminah kembali bekerja. Terlebih lagi setelah tenda dapur umum selesai dibangun pada siang hari dan peralatan memasak tiba.

Untuk kebutuhan massal, panci untuk memasak juga berukuran jumbo, yakni berdiameter 60 sentimeter. Memasak dengan panci sebesar itu dilakukan dengan memakai alat pengaduk yang besar pula. Bisa dibayangkan juga kekuatan yang dibutuhkan untuk mengaduk nasi dari beras seberat 15 kilogram untuk sekali masak.

Tuminah senang dengan tugasnya. Baginya, bisa menolong orang lain merupakan sesuatu yang menyenangkan kendati badan harus berlelah-lelah.

Di balik kemudi alat berat jenis loader Komatsu, Kamis siang, Haji Simas tampak lelah. Namun, ia tak sedikit pun berhasrat pulang ke rumah lebih awal. Telah menjadi tekadnya untuk membantu evakuasi korban di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga, Padang.

Sehari sebelumnya, Jumat, Haji Simas baru tiba di rumah pukul 23.00 setelah menggerakkan alat berat itu sejak pukul 07.00. Kerja kemanusiaan itu di luar batas pekerjaan normal.

”Saya petugas bongkar muat batu bara. Orang lain membutuhkan bantuan,” kata Haji Simas, operator alat berat milik pengusaha swasta.

Saat kami bercakap-cakap selama 15 menit, Sabtu sekitar pukul 14.00, tiga jenazah dievakuasi dalam kantong warna kuning. Bau anyir tercium kuat, menembus masker yang dikenakan Haji Simas. Dia memejamkan mata, berdoa.

Tak hanya relawan yang mampu mengakselerasikan pembangunan kembali Padang dan Sumatera Barat. Ada manusia-manusia biasa, seperti sopir truk tangki premium, Amri, yang tanpa disadarinya telah berjasa besar. Amri terus mendistribusikan premium ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum agar dapat digunakan banyak orang.

Kediaman Amri, yang tak jauh dari Pelabuhan Teluk Bayur di Indo Villa, Pampangan, Padang, juga rusak. Namun, panggilan pekerjaan melupakan sejenak musibah yang juga dialaminya. ”Saya ikut senang jika antrean sepeda motor dan orang tak lagi menumpuk di pom bensin. Waktu mereka tak cuma habis buat antre,” katanya. (ART/RYO/sah)

Sumber: www.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar