Kamis, 27 Agustus 2009

Serba-serbi Islam di AS, Antara Toleransi & Fobia

0 komentar
Jakarta - Berbicara mengenai Islam di negeri yang mayoritas penduduknya bukan pemeluk
agama Islam seperti di Amerika Serikat (AS) memang menarik. Banyak sisi humanis, namun tak sedikit pula hal ironis dijumpai di sana.

Begitulah sekiranya pengalaman yang diceritakan oleh mahasiswa program doktor di Harvard University, Ulil Abshar Abdalla.

Bagi Ulil, begitu penggagas Jaringan Islam Liberal (JIL) ini disapa, menjadi seorang muslim di negeri Paman Sam tidak serumit seperti yang orang kira. Namun juga tidak mudah seperti layaknya menjadi seorang muslim di Indonesia.

Misalkan, saat bulan Ramadan tiba, di sekolah anaknya yang masih duduk di sekolah dasar,cuma putranya saja yang berpuasa. Rasa was-was sempat terbersit dalam hati.

"Tapi untungnya mereka sangat mengapresiasi. Guru anak saya, dengan sangat simpatik sekali menjelaskan kepada anak-anak lain tentang puasa. Anak-anak yang lain juga sangat apresiasif dan menghormati," cerita Ulil saat berdiskusi tentang 'Islamophobia di Amerika Serikat' yang berlangsung di Gedung Komunitas Salihara, Jl Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (26/8/2009) malam.

Tak cuma itu, saat Ramadan, Ulil mengajak anak-anaknya ke perpustakaan umum kota Boston, Amerika Serikat. Dia dibikin terheran-heran. Bukan buku kartun Batman atau Superman yang didapatkan. Tetapi di sana banyak buku-buku Islam yang dikemas dalam bentuk kartun.

"Ternyata, display buku-buku di perpustakaan umum itu menyesuaikan momentum yang dialami bagian dari komunitas itu. Kalau Ramadan, display bukunya tentang Islam dan Ramadan. Kalau waktu Christmas ya tentang agama Kristen dan seputar Natal," jelasnya.

Bahkan, Ulil nyaris tidak merasakan adanya Islamofobia di lingkungannya, sebab memang menurutnya tidak ada pembedaan-pembedaan dalam setiap lini kehidupan di sana.

"Bagi saya nyaris tidak ada fobia terhadap Islam," ujarnya.

Namun, ternyata tak sedikit pula pihak-pihak yang 'tidak suka' dengan Islam. Dengan berbagai cara, mereka selalu menjelek-jelekan agama Samawi ini dengan berbagai cara.

Ulil mencontohkan, sekelompok orang di depan kampus Harvard juga membuat tenda besar, menyebarkan pamflet dan mengeluarkan jargon-jargon anti-Islam. Hal ini mereka lakukan cuma karena menolak kebijakan kampus Harvard, yang mengabulkan permintaan mahasiswi muslim untuk diberi waktu dua jam sehari, seminggu tiga kali untuk melakukan olah raga fitness di kampus itu tanpa berbaur dengan mahasiswa pria.

"Kebijakan ini dikritik keras oleh mereka," ujar menantu kiai dari Rembang Mustafa Bisri ini.

Media-media setempat juga ada beberapa yang dianggap anti-Islam. Ulil kemudian menyebut salah satu jaringan medi di AS yang dalam semua hal selalu bersikap konservatif.

"Jangankan soal Islam, soal olah raga saja mereka konservatif," ujarnya sambil tertawa.

Tak cuma itu, banyak radio setempat yang menyebarkan kebencian terhadap Islam. Bahkan Ulil menceritakan, seorang narasumber muslim yang diundang di salah satu radio tersebut, saat mengudara langsung diputus siarannya, dan dimaki-maki pula oleh host-nya lantaran pendapatnya dianggap tidak berkenan.

Masalah inilah yang menjadi tantangan besar kaum muslim di AS. Yang dibutuhkan AS saat ini adalah juru dakwah Islam yang bisa menjelaskan dalam bahasa lokal AS, sehingga dakwahnya bisa mengena sesuai dengan kehidupan sosiologis muslim di AS.

Saat ini umumnya para imam masjid di AS berasal dari Timur Tengah, dan bahasa Inggrisnya kurang lancar. "Kayak Inggrisnya Amien Rais lah," canda Ulil disambut tawa sekitar 50 peserta diskusi yang hadir.

Namun terkait masalah ini, seorang muallaf AS, Hamzah Yusuf, saat ini sedang gencar merintis imam-imam lokal, yang mahir bahasa Inggris, dan paham betul akan Islam melalui pesantren yang dia bangun di AS.

Soal imigran muslim di AS, Ulil membawa kabar gembira. Pemerintah setempat membebaskan imigran muslim untuk tidak dipaksakan berasimilasi dengan budaya
setempat. Sehingga banyak didirikan sekolah-sekolah Islam khusus diperuntukkan bagi imigran Islam asal Timur Tengah, juga Pakistan atau Bangladesh. Tapi kenapa kedua anak Ulil tidak disekolahkan di sana?

"Bukan berarti saya tidak suka Islam. Tapi karena saya tidak punya uang, karena sekolah khusus itu mahal," selorohnya lagi-lagi disambut tawa hadirin.

Gejala Islamofobia ini, menurut Ulil bukan sepenuhnya kesalahan orang Amerika. Namun kadang orang Islam sendiri juga perlu introspeksi.

"Orang Islam tidak bisa dekat dengan orang setempat, sehingga kadang ada kecurigaan-kecurigaan," kata pria yang konon ikut dalam bursa pencalonan Ketua PBNU ini.

Satu hal yang ingin disampaikan oleh Ulil dalam diskusi tersebut. Ketakutan-ketakutan akan Islam di mana pun berada bukan melulu kesalahan orang nonmuslim, tapi memang kadang kaum muslim sendiri yang kurang berbaur, dan bersikap eksklusif.

Sumber: www.detik.com

0 komentar:

Posting Komentar